Pendidikan
karakter sebagai sebuah program kurikuler telah dipraktekan di sejumlah negara.
Studi J. Mark Halstead dan Monica J. Taylor (2000) menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pengajaran
nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter terpuji telah dikembangkan di
sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan
karakter berdasarkan nilai-nilai tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
to
build on and supplement the values children have already begun to develop by
offering further exposure to a range of values that are current in society
(such as equal opportunities and respect for diversity); and to help children
to reflect on, make sense of and apply their own developing values (Halstead dan Taylor, 2000: 169).
Untuk
membangun dan melengkapi nilai-nilai yang telah dimiliki anak agar
berkembang sebagaiamana nilai-nilai
tersebut juga hidup dalam masyarakat, serta agar anak mampu merefleksikan,
peka, dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan karakter tidak
bisa berjalan sendirian. Dalam kasus di Inggris, review penelitian tentang
pengajaran nilai-nilai selama dekade 1990-an memperlihatkan bahwa pendidikan
karakter yang diusung dengan kajian nilai-nilai dilakukan dengan program lintas
kurikulum. Halstead dan Taylor (2000: 170-173) menemukan bahwa nilai-nilai yang
diajarkan tersebut juga disajikan dalam pembelajaran Citizenship; Personal, Social
and Health Education (PSHE); dan mata pelajaran lainnya seperti Sejarah,
Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Alam dan Geografi, Desain dan Teknologi, serta
Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
”Karakter warga negara yang baik” merupakan
tujuan universal yang ingin dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di
negara-negara manapun di dunia. Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan
kewarganegaraan di sejumlah negara (Kerr, 1999; Cholisin, 2004; Samsuri, 2004,
2009) menunjukkan bahwa pembentukan karakter warga negara yang baik tidak bisa
dilepaskan dari kajian pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Sebagai contoh,
di Kanada pembentukan karakter warga negara yang baik melalui pendidikan
kewarganegaraan diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian. Di negara
bagian Alberta
(Kanada) kementerian pendidikannya telah memberlakukan kebijakan pendidikan
karakter bersama-sama pendidikan karakter melalui implementasi dokumen The Heart of the Matter: Character and
Citizenship Education in Alberta Schools (2005). Dalam konteks Indonesia , di
era Orde Baru pembentukan karakter warga negara nampak ditekankan kepada mata
pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Di era pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan karakter pun ada upaya untuk
”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan di samping Pendidikan Agama.
Persoalannya apakah nilai-nilai pembangun
karakter yang diajarkan dalam setiap mata pelajaran harus bersifat ekplisit
ataukah implisit saja? Temuan Halstead dan Taylor (2000) pun menampakkan perdebatan
terhadap klaim-klaim implementasi pengajaran nilai-nilai moral dalam Kurikulum
Nasional di Inggris (terutama di era Pemerintahan Tony Blair). Klaim-klaim
tersebut antara lain menyatakan pentingnya:
·
Sejarah sebagai sebuah
alat untuk membantuk siswa mengembangkan toleransi atau komitmen rasional
terhadap nilai-nilai demokratis.
·
Bahasa
Inggris sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kemandirian dan
menghormati orang lain
·
Pengajaran
Bahasa Modern untuk menjamin kebenaran dan integritas personal dalam berkomunikasi
·
Matematika sebagai alat
untuk membantu siswa mengembangkan tanggung jawab sosial
·
Ilmu
Alam dan Geografi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan
sikap-sikap tertentu terhadap lingkungan
·
Desain
dan Teknologi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai
multikultural dan anti-rasis
·
Ekspresi
Seni sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kualitas fundamental kemanusiaan
dan tanggapan spiritual terhadap kehidupan
·
Pendidikan
Jasmani dan Olah Raga sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan
kerjasama dan karakter bermutu lainnya (diadaptasikan dari Halstead dan Taylor,
2000: 173).
Paparan tersebut
memperkuat alasan bahwa pendidikan karakter merupakan program aksi lintas
kurikulum. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat diselenggarakan sebagai
program kurikuler yang berdiri sendiri (separated
subject) dan lintas kurikuler (integrated
subject). Namun, pendidikan
karakter juga dapat dilaksanakan semata-mata sebagai bagian dari program
ekstra-kurikuler seperti dalam kegiatan kepanduan, layanan masyarakat (community service), maupun program civic voluntary dalam tindakan
insidental seperti relawan dalam mitigasi bencana alam.
Pendidikan
karakter sebagai sebuah program kurikuler dapat didekati dari perspektif
programatik maupun teoritis.
a. Perspektif programatik
1. Habit versus Reasoning.
Beberapa perspektif menekankan kepada pengembangan penalaran dan refleksi moral
seseorang, perspektif lainnya menekankan kepada mempraktikan perilaku kebajikan
hingga menjadi kebiasaan (habitual). Adapula yang melihat keduanya sebagai hal
penting.
2. ”Hard” versus ”Soft”
virtues. Pertanyaan-pertanyaan: apakah disiplin diri, kesetiaan (loyalitas)
sungguh-sungguh penting? atau, apakah kepedulian, pengorbanan, persahabatan
sangat penting? Kecenderungannya untuk menjawab YA untuk kedua pertanyaan
tersebut.
3. Focus on the
individual versus on the environment or community. Apakah karakter yang
tersimpan pada individu ataukah karakter yang tersimpan dalam norma-norma dan
pola-pola kelompok atau konteks? Jawabnya, memilih kedua-duanya (Schaps &
Williams, 1999 dalam Williams, 2000: 35).
b.
Perspektif Teoritis
1. Community of care (Watson)
2. constructivist approach to sociomoral
development (DeVries)
3. child development perspectives (Berkowitz)
4. eclectic
approach (Lickona)
5. traditional perspective (Ryan) (the
National Commission on Character Education dalam Williams, 2000: 36)
D. Instrumen Efektivitas
Pendidikan Karakter
Character
Education Partnership (2003) telah mengembangkan standar mutu Pendidikan
Karakter sebagai alat evaluasi diri terutama bagi lembaga (sekolah/kampus) itu
sendiri. Instrumen berupa skala Likert
(0 – 4) dengan memuat 11 prinsip sebagai berikut:
1. Effective character education promotes core ethical
values as the basis of good character.
2. Effective character education defines “character”
comprehensively to include thinking, feeling and behavior.
3. Effective character education uses a comprehensive,
intentional, and proactive approach to character development.
4. Effective character education creates a caring school
community.
5. Effective character education provides students with
opportunities for moral action.
6. Effective character education includes a meaningful and
challenging academic curriculum that respects all learners, develops their
character, and helps them succeed.
7. Effective character education strives to develop students’
self-motivation.
8. Effective character education engages the school staff
as a learning and moral community that shares responsibility for character education and attempts to adhere to the same core values that guide the education of
students.
9. Effective character education fosters shared moral
leadership and long-range support of the character education initiative.
10. Effective character education engages families and
community members as partners in the character-building effort.
11. Effective character education assesses the character of
the school, the school staff’s functioning as character educators, and the
extent to which students manifest good character. (Character Education
Partnership, 2003:5-15)
Jika
ke-11 prinsip tersebut diadaptasikan
sebagai cara mengukur efektivitas pendidikan karakter di FISE UNY, maka
pendidikan karakter di FISE UNY telah diupayakan untuk:
1. mempromosikan inti nilai-nilai etis sebagai dasar karakter yang baik
(nilai-nilai etis yang pokok dapat berasal dari ajaran agama, kearifan lokal,
maupun falsafah bangsa).
2. mengartikan “karakter” secara utuh termasuk pemikiran, perasaan dan
perilaku (cipta, rasa, karsa dan karya dalam slogan pendidikan di UNY).
3. menggunakan pendekatan yang komprehensif, bertujuan dan proaktif
untuk perkembangan karakter.
4. menciptakan suatu
kepedulian pada masyarakat kampus.
5. memberikan para mahasiswa
peluang untuk melakukan tindakan moral.
6. memasukkan kurikulum
akademik yang bermakna dan menantang dengan menghormati semua peserta didik,
mengembangkan kepribadiannya, dan membantu mereka berhasil.
7. mendorong pengembangan
motivasi diri mahasiswa.
8. melibatkan staf/karyawan
kampus sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggungjawab
untuk pendidikan karakter serta berupaya untuk mengikuti nilai-nilai inti yang
sama yang memandu pendidikan para mahasiswa.
9. memupuk kepemimpinan
moral dan dukungan jangka-panjang terhadap inisiatif pendidikan karakter.
10. melibatkan keluarga dan
anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11. menilai karakter kampus,
fungsi staf kampus sebagai pendidik karakter, dan memperluas kesempatan para
mahasiswa untuk menampilkan karakter yang baik.
Efektivitas
implementasi program juga dipengaruhi oleh bagaimana strategi-strategi
pembelajarannya dilakukan. Ada beberapa
model dan strategi pembelajaran pendidikan karakter yang dapat dipergunkan,
antara lain:
1. Consensus
building (Berkowitz, Lickona)
2. Cooperative
learning (Lickona, Watson, DeVries, Berkowitz)
3.
Literature (Watson, DeVries, Lickona)
4. Conflict
resolution (Lickona, Watson, DeVries, Ryan)
5. Discussing
and Engaging students in moral reasoning.
6. Service
learning (Watson, Ryan, Lickona, Berkowitz) (Williams, 2000: 37)
Di luar model pembelajaran karakter tersebut,
ada beberapa model penting lainnya sehingga pendidikan karakter dapat efektif.
Mengikuti Halstead dan Taylor
(2000), pertama, adalah pendidikan karakter melalui kehidupan sekolah/kampus;
Visi-misi sekolah/kampus; teladan guru/dosen, dan penegakan aturan-aturan dan
disiplin. Model ini menekankan pentingnya dibangun kultur sekolah/kampus
yang kondusif untuk penciptaan iklim
moral yang diperlukan sebagai direct
instruction, dengan melibatkan semua komponen penyelenggara pendidikan. Ini
sebenarnya mirip dengan kesebelas instrumen efektivitas pendidikan karakter
yang dirumuskan oleh Character Education Partnership (2003) di atas.
Kedua,
penggunaan metode di dalam pembelajaran itu sendiri. Metode-metode yang dapat
diterapkan antara lain dengan problem
solving, cooperative learning dan experience-based projects yang
diintegrasikan melalui pembelajaran tematik dan diskusi untuk menempatkan
nilai-nilai kebajika ke dalam praktek kehidupan, sebagai sebuah pengajaran
bersifat formal (Halstead dan Taylor ,
2000: 181). Metode bercerita, Collective
Worship (Beribadah secara Berjamaah),
Circle Time (Waktu lingkaran), Cerita Pengalaman Perorangan, Mediasi Teman
Sebaya, atau pun Falsafah untuk Anak (Philosophy
for Children) dapat digunakan sebagai alternatif pendidikan karakter
(Halstead dan Taylor ,
2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar