Pages

Rabu, 12 Februari 2014

Perjanjian Internasional



Pengertian Perjanjian Internasional
1. Definisi dari G. Schwarzenberger.
“Treaties are agreements between subject of International Law creating binding obligations in International Law. They may be bilateral (i.e. concluded between contracting parties) or multilateral (i.e. concluded more than contracting parties)” Dari definisi tersebut dapat diartikan, bahwa perjanjian internasional diartikan sebagai suatu persetujuan antara subyek-subyek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral maupun multilateral.
2. Definisi dari Oppenheim-Lauterpacht :
“International treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal rights and obligations between the parties”.
Ditegaskan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan antar negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Pendapat yang lebih luas lagi, yaitu definisi dari Mochtar Kusumaatmadja bahwa : “Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-
akibat hukum tertentu”.
Pengertian Ratifikasi
Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya.
Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu Negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi
Ratifikasi dalam arti internasional adalah suatu kegiatan berupa pertukaran atau penyimpanan dokumen ratifikasi (nota ratifikasi), sejak tanggal pertukaran dokumen tersebut lahirlah kewajiban-kewajiban internasional sebagai efek dari ratifikasi.
Proses Ratifikasi
Tidak ada keseragaman dalam prosedur pembuatan perjanjian internasional, masing-masing negara mengatur sesuai dengan konstitusi dan hukum kebiasaan yang berlaku di negaranya. Namun dalam praktek berbagai negara terdapat dua cara prosedur utama untuk membuat perjanjian internasional, yaitu :
A. Prosedur normal (klasik)
B. Prosedur yang disederhanakan (simplified)
Prosedur normal.
Prosedur normal ini timbul sesudah revolusi Prancis, yaitu timbulnya negara-negara demokrasi dimana parlemen memegang peranan penting dalam pembuatan undang-undang dan juga pembuatan treaty (treaty making). Dalam prosedur normalini kita menemukan serangkaian ketentuan-ketentuan Konvensi Wina sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikut ini. Secara kronologis pembuatan perjanjian internasional dengan cara prosedur normal, yaitu :
1. Perundingan (negotiation).
2. Penandatanganan (signature).
3. Ratification (ratifikasi).
Prosedur Yang disederhanakan.
Dalam praktek negara-negara prosedur yang disederhanakan timbul mengingat pengaturan hubungan internasional menghendaki atau memerlukan waktu yang cepat, seperti kebutuhan dalam bidang ekonomi. Prosedur yang disederhanakan ini tidak memerlukan waktu yang lama seperti prosedur normal/klasik yang menghendaki ratifikasi dari badan yang berwenang (parlemen) sebelum treaty atau perjanjian internasional itu berlaku mengikat negara-negara penandatangan. Treaty dalam prosedur yang disederhanakan sering dibuat oleh menteri yang bersangkutan tanpa ikut Kepala Negara dan ratifikasi hanya terjadidengan persetujuan sederhana/simple approval. Secara teknis nampak perbedaan kedua prosedur tersebut, yaitu perlu atau tidaknya persetujuan Parlemen dalam prosedur pembuatan perjanjian. Dapat diambil kesimpulan bahwa apabila treaty dibuat dengan prosedural normal biasanya treaty tersebut perlu diratifikasi dengan mendapat persetujuan dari parlemen sebelum berlaku. Sedangkan prosedur yang disederhanakan seperti biasanya hanya persetujuan pemerintah “government agreement”, maka treaty itu tidak perlu diratifikasi dengan persetujuan parlemen cukup hanya dengan pemberitahuan saja.
Proses Ratifikasi Menurut Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa “ presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain”. Berdasarkan hal tersebut, hanya perjanjian-perjanjian yang penting/ treaty yang disampaikan kepada DPR sedangkan perjanjian lain /agreement akan disampaikan kepada DPR hanya untuk diketahui. Dalam pasal ini tidak menentukan bentuk yuridis persetujuan DPR. Oleh karena itu tidak ada keharusan bagi DPR untuk memberikan persetujuanya dalam bentuk Undang-Undang.
Tahapan Pembentukan Perjanjian Internasional
Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:
  1. Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
  2. Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
  3. Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
  4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
  5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan.
Pengesahan Perjanjian Internasional
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:
  1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
  2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
  3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
  4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.
Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri. Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
  • masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
  • perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
  • kedaulatan atau hak berdaulat negara;
  • hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
  • pembentukan kaidah hukum baru;
  • pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:
”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.
Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar