Pages

Jumat, 14 Desember 2012

PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARKATER


Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler telah dipraktekan di sejumlah negara. Studi J. Mark Halstead dan Monica J. Taylor (2000) menunjukkan  bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter terpuji telah dikembangkan di sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan karakter berdasarkan nilai-nilai tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
to build on and supplement the values children have already begun to develop by offering further exposure to a range of values that are current in society (such as equal opportunities and respect for diversity); and to help children to reflect on, make sense of and apply their own developing values (Halstead dan Taylor, 2000: 169).
 Untuk membangun dan melengkapi nilai-nilai yang telah dimiliki anak agar berkembang  sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga hidup dalam masyarakat, serta agar anak mampu merefleksikan, peka, dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan karakter tidak bisa berjalan sendirian. Dalam kasus di Inggris, review penelitian tentang pengajaran nilai-nilai selama dekade 1990-an memperlihatkan bahwa pendidikan karakter yang diusung dengan kajian nilai-nilai dilakukan dengan program lintas kurikulum. Halstead dan Taylor (2000: 170-173) menemukan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tersebut juga disajikan dalam pembelajaran Citizenship; Personal, Social and Health Education (PSHE); dan mata pelajaran lainnya seperti Sejarah, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Alam dan Geografi, Desain dan Teknologi, serta Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
”Karakter warga negara yang baik” merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara manapun di dunia. Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara (Kerr, 1999; Cholisin, 2004; Samsuri, 2004, 2009) menunjukkan bahwa pembentukan karakter warga negara yang baik tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Sebagai contoh, di Kanada pembentukan karakter warga negara yang baik melalui pendidikan kewarganegaraan diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian. Di negara bagian Alberta (Kanada) kementerian pendidikannya telah memberlakukan kebijakan pendidikan karakter bersama-sama pendidikan karakter melalui implementasi dokumen The Heart of the Matter: Character and Citizenship Education in Alberta Schools (2005). Dalam konteks Indonesia, di era Orde Baru pembentukan karakter warga negara nampak ditekankan kepada mata pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di era pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan karakter pun ada upaya untuk ”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan di samping Pendidikan Agama.
Persoalannya apakah nilai-nilai pembangun karakter yang diajarkan dalam setiap mata pelajaran harus bersifat ekplisit ataukah implisit saja? Temuan Halstead dan Taylor (2000) pun menampakkan perdebatan terhadap klaim-klaim implementasi pengajaran nilai-nilai moral dalam Kurikulum Nasional di Inggris (terutama di era Pemerintahan Tony Blair). Klaim-klaim tersebut antara lain menyatakan pentingnya:

·         Sejarah sebagai sebuah alat untuk membantuk siswa mengembangkan toleransi atau komitmen rasional terhadap nilai-nilai demokratis.
·         Bahasa Inggris sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kemandirian dan menghormati orang lain
·         Pengajaran Bahasa Modern untuk menjamin kebenaran dan integritas personal dalam berkomunikasi
·         Matematika sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan tanggung jawab sosial
·         Ilmu Alam dan Geografi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan sikap-sikap tertentu terhadap lingkungan
·         Desain dan Teknologi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai multikultural dan anti-rasis
·         Ekspresi Seni sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kualitas fundamental kemanusiaan dan tanggapan spiritual terhadap kehidupan
·         Pendidikan Jasmani dan Olah Raga sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kerjasama dan karakter bermutu lainnya (diadaptasikan dari Halstead dan Taylor, 2000: 173).
Paparan tersebut memperkuat alasan bahwa pendidikan karakter merupakan program aksi lintas kurikulum. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat diselenggarakan sebagai program kurikuler yang berdiri sendiri (separated subject) dan lintas kurikuler (integrated subject). Namun, pendidikan karakter juga dapat dilaksanakan semata-mata sebagai bagian dari program ekstra-kurikuler seperti dalam kegiatan kepanduan, layanan masyarakat (community service), maupun program civic voluntary dalam tindakan insidental seperti relawan dalam mitigasi bencana alam. 
Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler dapat didekati dari perspektif programatik maupun teoritis.

     a.  Perspektif programatik 
1. Habit versus Reasoning. Beberapa perspektif menekankan kepada pengembangan penalaran dan refleksi moral seseorang, perspektif lainnya menekankan kepada mempraktikan perilaku kebajikan hingga menjadi kebiasaan (habitual). Adapula yang melihat keduanya sebagai hal penting.
2. ”Hard” versus ”Soft” virtues. Pertanyaan-pertanyaan: apakah disiplin diri, kesetiaan (loyalitas) sungguh-sungguh penting? atau, apakah kepedulian, pengorbanan, persahabatan sangat penting? Kecenderungannya untuk menjawab YA untuk kedua pertanyaan tersebut.
3. Focus on the individual versus on the environment or community. Apakah karakter yang tersimpan pada individu ataukah karakter yang tersimpan dalam norma-norma dan pola-pola kelompok atau konteks? Jawabnya, memilih kedua-duanya (Schaps & Williams, 1999 dalam Williams, 2000: 35).
    b. Perspektif Teoritis 
1. Community of care (Watson)
2. constructivist approach to sociomoral development (DeVries)
3. child development perspectives (Berkowitz)
4. eclectic  approach (Lickona)
5. traditional perspective (Ryan) (the National Commission on Character Education dalam Williams, 2000: 36)
D. Instrumen Efektivitas Pendidikan Karakter
Character Education Partnership (2003) telah mengembangkan standar mutu Pendidikan Karakter sebagai alat evaluasi diri terutama bagi lembaga (sekolah/kampus) itu sendiri.  Instrumen berupa skala Likert (0 – 4) dengan memuat 11 prinsip sebagai berikut:

1. Effective  character education promotes core ethical values as the basis of  good character.
2. Effective  character education defines “character” comprehensively to include thinking, feeling and behavior.
3. Effective  character education uses a comprehensive, intentional, and proactive approach to character development.
4. Effective  character education creates a caring school community.
5. Effective  character education provides students with opportunities for moral action.
6. Effective  character education includes a meaningful and challenging academic curriculum that respects all learners, develops their character, and helps them succeed.
7. Effective  character education strives to develop students’ self-motivation.
8. Effective  character education engages the school staff as a learning and moral community that shares responsibility for character  education and attempts to adhere to the same  core values that guide the education of students.
9. Effective  character education fosters shared moral leadership and long-range support of the character education initiative.
10. Effective  character education engages families and community members as partners in the character-building effort.
11. Effective  character education assesses the character of the school, the school staff’s functioning as character educators, and the extent to which students manifest good character. (Character Education Partnership, 2003:5-15)
Jika ke-11 prinsip tersebut diadaptasikan  sebagai cara mengukur efektivitas pendidikan karakter di FISE UNY, maka pendidikan karakter di FISE UNY telah diupayakan untuk:
1. mempromosikan inti nilai-nilai etis sebagai dasar karakter yang baik (nilai-nilai etis yang pokok dapat berasal dari ajaran agama, kearifan lokal, maupun falsafah bangsa).
2. mengartikan “karakter” secara utuh termasuk pemikiran, perasaan dan perilaku (cipta, rasa, karsa dan karya dalam slogan pendidikan di UNY).
3. menggunakan pendekatan yang komprehensif, bertujuan dan proaktif untuk perkembangan karakter.
4. menciptakan suatu kepedulian pada masyarakat kampus.
5. memberikan para mahasiswa peluang untuk melakukan tindakan moral.
6. memasukkan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang dengan menghormati semua peserta didik, mengembangkan kepribadiannya, dan membantu mereka berhasil.
7. mendorong pengembangan motivasi diri mahasiswa.
8. melibatkan staf/karyawan kampus sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggungjawab untuk pendidikan karakter serta berupaya untuk mengikuti nilai-nilai inti yang sama yang memandu pendidikan para mahasiswa.
9. memupuk kepemimpinan moral dan dukungan jangka-panjang terhadap inisiatif pendidikan karakter.
10. melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11. menilai karakter kampus, fungsi staf kampus sebagai pendidik karakter, dan memperluas kesempatan para mahasiswa untuk menampilkan karakter yang baik.
Efektivitas implementasi program juga dipengaruhi oleh bagaimana strategi-strategi pembelajarannya dilakukan.  Ada beberapa model dan strategi pembelajaran pendidikan karakter yang dapat dipergunkan, antara lain:
1. Consensus building (Berkowitz, Lickona)
2. Cooperative learning (Lickona, Watson, DeVries, Berkowitz)
3. Literature (Watson, DeVries, Lickona)
4. Conflict resolution (Lickona, Watson, DeVries, Ryan)
5. Discussing and Engaging students in moral reasoning.
6. Service learning (Watson, Ryan, Lickona, Berkowitz) (Williams, 2000: 37)
Di luar model pembelajaran karakter tersebut, ada beberapa model penting lainnya sehingga pendidikan karakter dapat efektif. Mengikuti Halstead dan Taylor (2000), pertama, adalah pendidikan karakter melalui kehidupan sekolah/kampus; Visi-misi sekolah/kampus; teladan guru/dosen, dan penegakan aturan-aturan dan disiplin. Model ini menekankan pentingnya dibangun kultur sekolah/kampus yang  kondusif untuk penciptaan iklim moral yang diperlukan sebagai direct instruction, dengan melibatkan semua komponen penyelenggara pendidikan. Ini sebenarnya mirip dengan kesebelas instrumen efektivitas pendidikan karakter yang dirumuskan oleh Character Education Partnership (2003) di atas.
Kedua, penggunaan metode di dalam pembelajaran itu sendiri. Metode-metode yang dapat diterapkan antara lain dengan problem solving, cooperative learning dan  experience-based projects yang diintegrasikan melalui pembelajaran tematik dan diskusi untuk menempatkan nilai-nilai kebajika ke dalam praktek kehidupan, sebagai sebuah pengajaran bersifat formal (Halstead dan Taylor, 2000: 181). Metode bercerita, Collective Worship (Beribadah secara Berjamaah), Circle Time (Waktu lingkaran), Cerita Pengalaman Perorangan, Mediasi Teman Sebaya, atau pun Falsafah untuk Anak (Philosophy for Children) dapat digunakan sebagai alternatif pendidikan karakter (Halstead dan Taylor, 2000) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar