Pages

Jumat, 07 Desember 2012

Pendidikan antara harapan dan kenyataan

Dunia pendidikan indonesia dari tahun ke tahun tercatat sangat dinamis, perubahan demi perubahan, perbaikan demi perbaikan bergulir silih berganti. Hal-hal berkaitan dengan kurikulum tetap menjadi pokok utama, karena hali dianggap sebagai salah satu bagian penting yang harus tersentuh dalam setiap pembangunan pendidikan di Indonesia. Milyaran bahkan trilyunan rupiah dikucurkan pemerintah dengan harapan progres pendidikan di Indonesia makin membaik. Tetapi ada satu hal yang mungkin kita lupakan adalah masalah kepribadian, makin tingginya standar kualitas pendidikan (minimal kalau dilihat dari standar minimal UJIAN NASIONAL) tetapi ini kurang dibarengi dengan pembinaan serta pembentukan kepribadian siswa di sekolah. Pelanggaran demi pelanggaran oleh siswa bukan hanya berkuta dalam ranah etika sopan santun saja tetapi sudah memasuki ranah pidana. Bagaimana perilaku tawuran yang rentan meminta korban jiwa sesama pelajar, dalam hal penggunaan narkoba dan psikotropika trend dan kasusnya juga makin menanjak setiap tahun, perilaku seks bebas juga makin mengkhawatirkan saja. Disini kadang pihak sekolah seakan angkat tangan bahwan cenderung bersikap masa bodoh atas segala bentuk degradasi moral yang dilakukan oleh siswa-siswinya, mereka seakan terlalu sibuk membuat program unggulan dalam mempersiapkan anak-anaknya menempuh UJIAN NASIONAL. Perilaku dan sikap gur sekarang sudah banyak yang melenceng dari kodrat sebagai sang pendidik, peningkatan kesejahteraan oleh pemerintah tidak diimbangi oleh rasa dan tanggung jawab dari para pendidik. Tunjangan tambahan penghasilan guru kadang tidak menyentuh upaya-upaya peningkatan kualitas pembelajaran untuk guru, yang paling parah mungkin adalah semakin tidak perdulinya guru terhadap anak didiknya yang bermasalah, ada trend di beberapa sekolah di kota saya untuk mengeluarkan anak-anak tersebut bukan malah mendidik dan membinanya. dan hal serupapun akan dilakukan oleh sekolah baru tempat anak buangan tersebut menuntu ilmu, jika tidak terjadi perubahan sekolah baru tersebutpun akan dengan mudahnya meng"over kredit" anak tersebut ke sekolah lain yang kualitasnya lebih rendah. buat saya ini ironi, bukankah sekolah di bangun dan diadakan untuk mendidik dan membina siswa tanpa pandang strata sosial dan perilaku ?? kondisi ini makin diperparah oleh kurangnya perhatian orang tua siswa terhadap anak-anaknya, kesan sibuk di kantor dan acara lainya mengakibatkan sekolah kesulitan dalam melakukan dialog dalam rangka pembinaan anaknya sendiri. Mereka cenderung memasrahkan seutuhnya kepada. sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar